Selasa, 22 April 2008
Controlling the 'Old' n 'New'
Bagi industri media, seperti perusahaan label rekaman ataupun pemroduksi film, mereka membutuhkan pengakuan akan karya-karya baru yang muncul belakangan. Inovasi tersebut membutuhkan pengakuan berupa hak veto yang diwujudkan dalam hukum dan peradilan. Sebaliknya, hukum dan peradilan yang berlaku di Amerika (sebagai manifestasi pemerintah) lebih memilih untuk melindungi karya-karya lama terhadap ‘invasi’ inovasi-inovasi baru. Misalnya, untuk menggunakan suatu karya, kita perlu meminta dan mendapat ijin dari penciptanya. Hal itu mungkin tidak jadi masalah jika diterapkan di era dimana perusahaan-perusahaan besar yang menguasai pasar. Namun, hal ini menjadi masalah ketika diterapkan pada amsa dimana perusahaan-perusahaan kecil banyak berkembang dan menguasai pasar.
Pengontrolan-pengontrolan yang dilakukan pemerintah seperti perijinan yang diperlukan untuk menyadur karya yang dilindungi hak cipta, misalnya, menjadi hambatan tersendiri bagi berkembangnya inovasi yang akan dilakukan generasi selanjutnya. Alice Randall dan Eric Eldred menggambarkan kondisi semacam itu dengan pernyataan ‘they block the potential for innovation, by adding protection for existing interests’. Sedangkan Siva Vaidhyanatahn berpendapat bukan tentang kiri atau kanan dalam debat mengenai hak cipta. Disini hanya ada perdebatan tentang siapa yang setuju dengan perlindungan ‘tebal’ atau ‘tipis’. Permasalahan sesungguhnya dalam ranah ini ialah adanya perbedaan pendapat antara (proteksi) terhadap karya lawas atau inovasi baru.
Penciptaan hak paten dianggap dapat menjadi solusi bagi permasalahan proteksi karya berhak cipta ini. Pendaftaran inovasi dengan hak paten tidak berarti innovator perlu membuka cara-cara bagaimana menciptakan karya semacam itu. Maka, dengan cara seperti ini, sumber dapat tetap dirahasiakan. Namun, pematenan inovasi ini tidak didapat dengan gratis, ada biaya yang perlu dibayar. Biaya (cost) yang dibayarkan untuk mematenkan inovasi sudah termasuk biaya perlindungan atas karya. Meskipun begitu, dalam pengimplementasiannya, penawaran perlindungan hanya sekedar menjadi wacana belaka. Biaya sesungguhnya yang perlu ‘dibayar’ ialah keberanian untuk metenkan sebuah karya. Dalam hukum Amerika, jika biro hak paten salah dalam mematenkan karyayangs eharusnya tidak layak dipatenkan, maka tiap pihak diwajibkan membayar denda USS 1.5 juta.
Pada akhirnya, pengontrolan yang ketat akan menimbulkan keenganan perusahaan untuk mengaplikasikannya dalam perushaan tersebut. Karena, ketika kontrol berada dalam keadaan yang kompleks, otomatis akan melibatkan banyak sumber daya yang pada akhirnya tentu menambah pengeluaran perusahaan. Selain itu, meningkatnya harga produksi tentu akan berdampak pada meningkatnya harga jual; lantas, ketika keadaan pasar sudah semakin ‘dingin’, bukankah itu sudah terlambat?
Nampaknya kita, sebagai anggota lingkungan yang hidup di era teknologi, perlu memeriksa kembali cakupan batasan-batasan monopoli yang telah diciptakan sebelumnya, sudahkan sesuai dengan konteks yang berlaku? Pada akhirnya kita perlu mempertanyakan, masih perlukah kontrol diberlakukan? Atau setidaknya, sejauh manakah kontrol itu perlu dijalankan? Selain itu, kita juga perlu memikirkan bagaimana jika inovasi yang ada saat ini melindungi diri dengan hukum terhadpa inovasi yang mungkin akan ‘mencelakai’ diri mereka. Komitmen untuk menerima inovasi, dapat dipastikan, mampu membuat kalangan ‘tua’ (innovator karya sebelumnya) serta karyanya menjadi ‘punah’. Hukum pun harus bersiap untuk dijadikan alat melawan yang ‘muda’ (inovasi baru). Namun, pada akhirnya hanya kelompok mainstream-lah yang dapat menentukan inovasi mana saja yang boleh masuk dan tidak boleh.
Selasa, 15 April 2008
Kontroversi Aplikasi Spektrum
Spektrum adalah frekuensi radio dari gelombang elektromagnet. Spektrum biasa digunakan untuk mengirimkan gelombang pada ponsel serta siaran televisi dengan jangkauan 300 kHz hingga 300GHz. Pada awal mula kehadirannya, radio tidak diciptakan untuk dikomersialisasikan, namun sebagai media non-komersil. Kalaupun ada, jumlah radio komersial tidak seberapa. Perubahan tersebut nampak nyata dalam periode 1927-1934, dimana konsumsi radio bergeser dari yang variatif (radio pendidikan dan radio religi, misalnya) menjadi didominasi oleh radio siaran komersial. Hadirnya radio komersil ini sebagai dampak dari penyiaran yang mendapat campur tangan pengaturan pemerintah.
Pengaturan siaran stasiun radio oleh pemerintah mendapat tentangan dari kalangan ekonom. Menurut mereka, frekuensi bukanlah benda langka. Sedangkan kelangkaan menandakan sumber daya yang berharga dan sumber daya berharga tidak selalu dikuasai pemerintah. Seorang pemenang nobel tahun 1991 di bidang ekonomi, Ronald Coase, menyatakan bahwa spektrum lebih baik dialokasikan sebagai kekayaan intelektual dan ditawarkan dengan harga setinggi mungkin. Menurut Coase, pasar spektrum akan lebih efisien daripada sistem lisensi yang diberlakukan pemerintah selama ini. Namun, kedua pihak yang berdebat ini sama-sama menyetujui bahwa gelombang radio bukanlah ‘benda yang umum’, sehingga perlu diatur kegunaannya.
Pertanyaannya, masihkan pengaturan spektrum diperlukan? Menurut Leissig, tidak. Bagi ia, spektrum ialah sumber daya publik, sehingga berhak diakses tiap orang. Leissig menawarkan ‘jalan lain’, sebagai alasan untuk tidak mengalokasikan spektrum, yaitu dengan teknologi wideband. Teknologi ini memungkinkan user untuk saling berbagi gelombang dengan bebas, tanpa campur tangan pemerintah maupun pasar. Penggunaan teknologi wideband memang dilengkapi dengan aturan-aturan yang harus dipenuhi, namun ia tidak mengatur siapa saja yang dapat atau tidak dapat memakainya.
Bentuk nyata dari teknologi wideband ialah Ethernet, yang memungkinkan komputer kita untuk terhubung dengan local area network (LAN). Ethernet ialah cara untuk menghubungkan berbagai device dalam suatu jaringan untuk berbagi isi dari jaringan tersebut. Untuk menggunakan LAN, tidak diperlukan lisensi yang mengatur siapa saja yang dapat mengaksesnya.
Kualitas penyiaran dengan basis spektrum radio tidak terlalu bagus, karena ia hanya bisa membedakan antara sinyal keras dan keheningan, tanpa bisa membedakan fokusnya. Berbeda dengan penyiaran dengan teknologi wideband. Ada beberapa keunggulan teknologi wideband dalam penyiaran. Pertama, ia bisa menentukan mana yang menjadi fokus dalam suatu gelombang, sehingga jika kualitas siaran terganggu oleh noise, ia bisa memilah gelombang yang sesungguhnya ingin dipacarkan dan tidak menonjolkan noise. Kedua, sistem ini memungkinkan untuk terhubung dengan berbagai receiver. Artinya, ia bisa mengkoordinasi beberapa broadcaster dalam spektrum radio yang sama.
Pada intinya, menurut Leissig penggunaan spektrum seharusnya sama seperti penggunaan Internet. Siapapun yang memiliki protocol, maka dapat mengaksesnya. Meskipun ide Leissig mengenai spektrum ialah spektrum sebagai sumber daya publik, namun tak berarti ia menyatakan pemerintah tidak perlu mengatur penggaplikasiannya. Pemerintah maupun pasar tidak dapat memutuskan siapa saja yang boleh menggunakan spektrum. Pemerintah hanya berperan dengan menjamin teknologi yang digunakan spektrum memang teknologi yang sudah layak mendapat sertifikasi. Pemberlakuan sistem semacam ini tidak membutuhkan campur tangan pemerintah yang terlalu banyak.
Ekonom George Gilder menolak ide pemerintah untuk menjual spektrum radio dengan alasan metode tersebut rentan terlibat dengan praktik korupsi. Sebaliknya, Gilder mengusulkan liberalisasi bagi sumber daya spektrum agar dapat berkembang dengan inovatif. Peran pemerintah hanya sebagai pelindung karya sebelumnya terhadap karya yang baru muncul belakangan. Namun, inovasi berkembang dengan lama. Hal itu dikarenakan sulitnya mendapatkan perijinan. Solusinya dengan meniadakan lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan perijinan.
Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa pendistribusian pasar memang penting, untuk mencegah penggunaan yang berlebihan serta memacu peningkatan efisiensi spektrum (inovasi). Terlepas dari kontroversi sistem mana yang sesuai untuk diterapkan, semua pihak memiliki ide yang sama: mengurangi kekuatan pemegang kuasa, meminimalisir peran pemerintah dengan menetapkan perannya hanya sebagai pelindung karya sebelumnya terhadap karya yang baru muncul belakangan, perubahan radikal dalam pembuatan kebijakan dengan membebaskan innovator dari birokrasi perijinan.
Keseimbangan: antara Kontrol dan Kebebasan
Masyarakat diuntungkan dengan hadirnya sumber daya yang diperoleh secara bebas. Namun kita harus menyeimbangkan antara pemakaian bebas dengan dibawah kontrol. Namun, hal ini tidak berjalan dengan sendirinya, karena tidak ada yang bisa menentukkan apakah kontrol terlalu sedikit atau malah terlalu banyak. Disinilah peran masyarakat, menjaga agar peran keduanya tetap seimbang. Permasalahannya, aturan semacam apa yang dianggap terbaik untuk menjaga agar sumber daya tetap mencukupi? Masyarakat harus yakin bahwa norma yang berlaku di lingkungannya dapat berperan untuk menjaga agar sumber daya tetap mencukupi. Jika norma saja tidak cukup, masyarakat harus menemukan teknologi baru yang mampu mengontrol. ‘Teknologi baru’ ini dapat berupa apa saja: regulasi yang mengatur banyaknya sumber daya yang boleh diambil, penciptaan hak kekayaan intelektual.
Penggambaran keseimbangan harus dikaitkan dengan teknologi yang ada. Karena, perubahan teknologi dapat membuat perubahan keseimbangan. Misalnya, perubahan penggunaan Internet berdampak pada perubahan keseimbangan antara kontrol dan kebebasan dalam dunia maya. Saat ini, pergeseran keseimbangan menunjukkan hasil bahwa kontrol meningkat, sehingga ia lebih dominan. Jika ada yang menyatakan bahwa pengontrolan meningkat, kemungkinan ia salah. Ia salah karena ia tidak menyadari bahwa dirinya sedang berada di bawah kontrol, karena ia tidak merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Nyatanya, perubahan yang terjadi tidak terpikir oleh ide keseimbangan yang telah tertanam di benak ia sebelumnya.
Selasa, 08 April 2008
Is it okay to use copyrighted material you haven’t paid for? Wich creature on which shoulder decides if it’s okay or not?
Is it okay to download? Is it okay to use copyrighted material you haven’t paid for? Wich creature on which shoulder decides if it’s okay or not?
60 juta orang yang mengunduh berbagai file dari KaZaA tetap meyakini bahwa tindakan mereka dapat dibenarkan. Apakah pemikiran mereka salah? Ataukah malah pendapat mereka memang dapat dibenarkan? Lantas, bagaimana menilai tindakan mereka? Apa saja yang menjadi standar pengukurannya? Ada daerah-daerah dan budaya-budaya tertentu yang memandang pelanggaran hak cipta bukanlah pelanggaran etika. Bagaimanapun juga, dalam tiap kelompok ada nilai-nilai tertentu yang dipegang anggota kelompok tersebut dalam memandang permasalahan ini dilihat dari sudut etis.
Isu mengenai pembajakan memang sudah bergaung di berbagai belahan dunia sejak beberapa tahun yang lalu. Pekerja seni, produser, programmer, hingga pebisnis menyatakan ketidaksetujuan mereka akan pembajakan. Kita mungkin bisa menemukan hitung-hitungan matematis untuk menemukan berapa besar kerugian yang dialami negara, pemilik hak cipta, serta organisasi terkait dari pembajakan yang terjadi atas karya-karya yang dilindungi hak cipta. Pertanyaannya, mengapa hal tersebut tetap berjalan?
Berbagai opini dilontarkan untuk menjawab pertanyaan etika ini. Ada yang mengatakan pengunduhan dari Internet adalah hal yang legal, dengan alas an saling berbagi adalah hal yang indah. Ada pula yang setuju dengan pengunduhan menyatakan bahwa hal tersebut merupakan salah satu jalan bagi musisi untuk memperkenalkan mereka pada masyarakat. Yang lainnya mengatakan mengunduh video atau musik dari Internet adalah tindakan melanggar hukum. Bagi mereka, tindakan tersebut melanggar hak cipta.
Menurut penelitian yang dilakukan asisten professor dari Yale University, Stanley Milgram, menghasilkan temuan yang kontroversial. Menurut Milgram, pola pikir “pengunduhan adalah legal karena setiap orang melakukannya” menjadi satu alasan yang dapat menjelaskan mengapa pengunduhan karya berhak cipta masih terus berjalan hingga kini.
Ada empat standar etika yang berkaitan dengan isu ini.
1. John Locke. Ia menyatakan bahwa hak kepemilikan dapat meningkat berdasarkan usaha. Semakin besar usaha seseorang, maka ia semakin ‘berhak’ mendapatkan hak kepemilikan.
2. Kant. Teori ini percaya bahwa kriteria untuk menentukkan apakah seseorang sudah berlaku sesuai dengan etika ialah ketika ia berlaku sesuai dengan aturan dan prinsip yang formal. Immanuel Kant merumuskan ‘categorical imperative’, yaitu standar keetisan atas tindakan seseorang diukur berdasarkan apakah semua orang juga melakukan hal yang sama ketika berada di posisi tersbeut; artinya, jika tindakannya sama seperti semua orang, maka tindakannya bisa dikategorikan sebagai tindakan etis.
3. Bentham/ Mill. Menurut pandangan Bentham dan J.S. Mill yang berpandangan utilitarianisme, keetisan tindakan seseorang ditentukan berdasarkan fakta bahwa keputusan tersebut akan membawa kebahagiaan dan hal-hal yang baik bagi sebagian besar orang. Artinya, kebahagiaan menjadi prinsip yang berperan dalam menentukkan tindakan seseorang.
4. Plato. Menurut pandangan Plato yang menganut virtue ethics, keetisan tindakan seseorang dapat dibangun dari kebiasaan hidup sehari-hari.
Pada akhirnya, yang dapat mendefinisikan keetisan suatu tindakan hanyalah tiap individu masing-masing. Standar keetisan seseorang boleh jadi berbeda dengan standar keetisan orang lainnya. Tiap individu patut bertanya pada diri mereka sendiri dengan jujur dalam menilai apakah tindakannya sesuai moral dan etika. Meskipun, menurut sebuah penelitian, hampir setiap orang yang mengunduh karya berhak cipta menyadari bahwa tindakannya salah. Bagi pihak penerbit, permasalahan seperti ini menjadi tantangan tersendiri bagi mereka.
Senin, 24 Maret 2008
Langkah-Langkah "Membuat Cover Fine Dine"

1. Memilih background sesuai dengan tema majalah. Gambar bisa berupa foto karya sendiri, atau mengunduh dari Internet.
2. Gambar latar dimodifikasi dengan menggunakan tool ’brush’ yang tersedia di toolbar sebelah kiri.
3. Menambahkan nama majalah ’fine dine’ dengan menggunakan tool ’Text’ yang ada di toolbar sebelah kiri.
4. Menambahkan edisi majalah dan harga dengan menggunakan tools ’Text’. Tulisan dapat dimodifikasi dengan mengatur posisinya.
5. Menambahkan judul artikel ’Tiramisu: kue favorit’ dengan menggunakan tools ’Text’. Ukuran dan warna tulisan dapat diatur lewat pilihan tools ’Character’ yang muncul otomatis ketika kita membuka tools ’Text’.
6. Menambahkan judul artikel ’Restoran Tempo Doeloe’ dengan menggunakan tools ’Text’.
7. Menambahkan gambar barcode dengan menggunakan tools ’Crop’ dari gambar yang diperoleh dari Internet.
8 . Menambahkan judul artikel ’CafĂ© Bintang Lima di Bali’ dengan menggunakan tools ’Text’.
untuk menyimpan dalam format PDF, pilih 'save as' dan pilih option 'PDF'.
Macromedia Fireworks

Pengertian…
• Fireworks adalah aplikasi desain grafis.
• Biasanya, Fireworks ditujukan untuk membuat content suatu website.
• Penggunaan Fireworks diutamakan bagi web-desainer dengan latar belakang keahlian desain grafis yang melibatkan perangkat image editing. Untuk itu, dalam pengoperasian Fireworks diperlukan keahlian penggunaan software image editing, seperti Corel atau Adobe Photoshop.
Fitur-fitur yang tersedia di Fireworks
• mengedit berbagai jenis image dalam satu aplikasi,
• membuat efek animasi pada image,
• mengedit image dan halaman web dalam satu aplikasi.
Kelebihan Fireworks…
• bisa dipakai untuk image manipulation
• bisa membuat animasi
Kekurangan…
membutuhkan latar belakang pengetahuan image editing.
Pengaplikasian Macromedia Fireworks
Pada pembuatan halaman situs bertema “Borobudur”
- Pilih ukuran layer, sesuaikan dengan ukuran tampilan yang anda inginkan
- Pilih warna background, atau jika tidak mau menggunakan warna, pilih ’transparant’
- Buat object dengan menggunakan tool yang ada di sebelah kiri area kerja
- Beri list pada object dengan menggunaan pilihan ’stroke’ di toolbar sebelah kiri area kerja
Klik tombol stroke, dan pilih warna yang sesuai
Stroke dipakai untuk membuat garis tepi object.
Fill dipakai untuk memberi warna di dalam object.
- Background object bisa diganti sesuai selera
- Masukkan tulisan dengan menekan tool ‘T’ di sebelah kiri area kerja.
- Masukkan gambar dari document dengan membuka File -> Import -> pilih gambar yang ingin dimasukkan. Tahan dengan mouse untuk menentukan ukuran gambar yang ingin dimasukkan.
1. mengubah object menjadi button
Tombol adalah object khusus yang dapat bereaksi terhadap gerakan dan klik mouse.
Langkah Pertama
Klik kotak dengan menggunakan pointer tools
Langkah Kedua
Pada menu, klik Insert -> Convert to Symbol
Langkah Ketiga
Pilih Button
Langkah Keempat
Beri nama object
Langkah Kelima
Klik OK
2. mengisi tulisan dalam tombol
Langkah Pertama
Pada menu, klik Modify -> Symbol -> Edit Symbol
Langkah Kedua
Klik tombol Add Text
Langkah Ketiga
Klik pada area kerja, dan tuliskan label “Ini Tombol”
3. membuat efek animasi
Pada tabs pada bagian atas Button Editor akan nampak pilihan-pilihan:
· Up, adalah kondisi normal, tombol siap diklik.
· Over, terjadi bila mouse pointer berada di atas tombol
· Down, terjadi bila tombol sedang ditekan.
· Over While Down, terjadi bila mouse pointer berada di atas tombol yang dalam posisi down.
Langkah-langkah untuk mengaktifkan efek Mouse Over, yaitu perubahan bentuk tombol apabila mouse pointer diletakkan di atas tombol:
Langkah Pertama
Klik tab Over
Langkah Kedua
Klik Copy Up Graphics
(Langkah-langkah modifikasi button dalam kondisi disorot Mouse Pointer dijelaskan dalam langkah ketiga sampai keenam)
Langkah Ketiga
Klik tombol dengan Pointer Tools
Langkah Keempat
Ganti warna latar belakang tombol
Langkah Kelima
Klik tulisan dengan Pointer Tools
Langkah Keenam
Ganti warna tulisan
(Langkah ketujuh dan seterusnya berguna untuk memberi efek pada kondisi Down dan Over While Down)
Langkah Ketujuh
Klik tab Down
Langkah Kedelapan
Klik Copy Over Graphics
Langkah Kesembilan
Klik tombol dengan Pointer Tools
Langkah Kesepuluh
Ganti warna latar belakang tombol
Langkah Kesebelas
Ganti efek tombol
Langkah Kedua belas
Klik tulisan dengan Pointer Tools
Langkah Ketiga belas
Ganti warna tulisan
Langkah Keempat belas
Lakukan hal yang sama untuk kondisi Over While Down
Langkah Kelima belas
Tutup button editor
Langkah Keenam belas
Lihat hasil animasi pada tab Preview
Selasa, 18 Maret 2008
Bajak-Membajak
The Quintessential American Pirate
Samuel Langhorne Clemens, yang memiliki nama populer Mark Twain, dikenal dengan buku karangannya yang berjudul The Adventures of Tom Sawyer. Sebagai seorang penulis, Twain melihat betapa pentingnya peran negara dalam memberikan hak cipta sebagai wujud perlindungan bagi kekayaan intelektual yang dimiliki warga negaranya. Twain merupakan seorang penulis yang banyak memperjuangkan hak cipta dan hak kekayaan intelektual, khususnya untuk karya tulis. Tindakannya saat itu dinilai cukup berani, menimbulkan kontroversi dengan berbagai pihak.
Memulai karier awal sebagai seorang penulis novel di tahun 1870-an, Twain telah merasa puas dengan bukunya yang cukup laris di pasaran. Sayang, seiring dengan berjalannya waktu, ia berhadapan dengan masalah pembajakan. Hal itu diketahuinya ketika ia melakukan tur untuk mempromosikan bukunya. Ia dikenali banyak orang, namun tidak ada tidak ada yang membeli bukunya. Ketika ia sudah semakin dikenal dan dihargai karena karyanya yang bermutu, ia mulai menyuarakan tentang hak cipta. Pada tahun 1875, majalah Atlantic Monthly menerbitkan tulisannya mengenai hak cipta dan menggandeng penulis-penulis lain yang sepaham dengannya. Di akhir tahun ’1870-an, industri penerbitan kolaps yang berakibat pada jatuhnya harga buku. Pada tahun 1880, Twain menulis surat pada editor majalah Atlantic Monthly, William Dean Howells. Dalam suratnya, Twain mengungkapkan kecewaannya yang mendalam pada buku bajakan dan karya yang disebut Twain sebagai karya picisan yang dijual dengan harga murah. Di akhir surat, Twain menyatakan dirinya menolak segala bentuk perjanjian hak cipta internasional. Menurutnya, perjanjian semacam itu hanya akan menguntungkan industri penerbitan, sebagian pengarang, dan merugikan 20 juta rakyat Amerika. Nyatanya, rakyat Amerika pada saat itu menikmati kehadiran karangan picisan tersebut. Akhirnya, Mark Twain bangkit dan menerima tantangan untuk bersaing dengan karya-karya genre itu pada tahun 1886. Keteguhan hatinya mendapat jawaban ketika di tahun 1891 hak cipta internasional efektif diberlakukan.
Selain permasalahan dengan lembaga pembuat hak cipta internasional, Mark Twain juga pernah bersengketa dengan Mary Ann Cord, pekerja di rumahnya, terkait dengan kepemilikan hak cipta atas karyanya yang berjudul The Adventures of Huckleberry Firm. Karya yang diterbitkan majalah Atlantic Monthly ditulis oleh Twain, namun menurut Cord itu adalah idenya. Sejak peristiwa itu, hak cipta selalu menjadi pertimbangan untuk menjaga ekspresi dari ide, bukan ide itu sendiri.
The Idea of Copyrighting Ideas
Berdasarkan pengalaman Twain dan Cord, ada dua pertanyaan besar yang berkaitan dengan hak cipta. Pertama, bukankah semua karya sifatnya derivatif? Artinya, pengarang A mendapat ide dari pengarang sebelumnya, dan seterusnya, seperti Monet yang ’belajar’ dari Cezanne. Kedua, apakah boleh meniru sebuah karya secara utuh? Lantas, bagaimana jika karya tersebut berupa tulisan?
Hukum mengenai hak cipta yang berlaku setidaknya sejak 1710 hingga 1870 telah merumuskan ada perbedaan yang fundamental mengenai ’ide’ dan ’ekspresi’. Kita dapat melindungi ekspresi ide kita, namun tidak diijinkan untuk memonopoli ide itu sendiri. Misalnya, pada karya berwujud gambar yang dibuat sebagai bentuk terjemahan sebuah dokumen. Karya gambar itu memiliki hak cipta tersendiri, karena ia merupakan karya yang berbeda dengan karya dokumen yang telah dibuat sebelumnya; karena bentuk ekspresi ide-nya telah berubah. Menurut Thomas Jefferson, ide adalah kekuatan berpikir yang dapat dimiliki secara eksklusif oleh seseorang (penciptanya) selama ia menyimpan itu sendiri, namun statusnya dapat berubah menjadi milik orang lain ketika ia menyebarkannya pada orang lain. Lebih lanjut Jefferson menyatakan bahwa terminologi ’property’ dipakai untuk menjelaskan ’hasil intelektual’ yang jika dibagikan tidak akan menghilangkannya dari sang pemilik. Ia mengibaratkan dengan cahaya dari lilin yang diberi ke lilin lain, tanpa mematikan cahaya dari lilin pertama. Donaldson v. Beckett menyatakan bahwa penulis kehilangan hak mengekspresikan idenya ketika naskah mereka dipublikasikan. Begitu pula dengan penulis di abad ini yang menyerahkan kekayaan intelektualnya pada penerbit yang pada mereka pula lah penulis menyerahkan hak reproduksi dan publikasi.
Selasa, 11 Maret 2008
The Triple Convergence
Hadirnya teknologi ke dalam kehidupan penduduk, menandakan masuknya penduduk dunia ke era ’dunia yang rata’. Dunia yang ’rata’ membuat penduduk suatu negara terhubung dengan penduduk dari negara lainnya dengan lebih mudah dan murah. Mereka bisa berkomunikasi dengan media yang lebih beragam. Dan pada akhirnya, akan terbentuk kelompok-kelompok baru, yang mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya mereka bisa terhubung satu dengan lainnya. Kelompok baru ini bisa menjalin hubungan bisnis antarnegara atau sekadar hubungan pertemanan. Terbentuknya kelompok baru merupakan salah satu dari convergence yang ada.
Konvergensi adalah segala sesuatu yang (mulanya) banyak, lalu disimplifikasi sehingga menjadi sedikit dan ringkas. Ada tiga konvergensi, konvergensi yang pertama ialah hadirnya mesin (alat, device, software, atau hardware) yang mampu melakukan berbagai hal (multitask). Jika sepuluh tahun yang lalu belum ada alat untuk mengirim fax, sekaligus copy, print, dan scanning, kini tidak lagi. Dengan mudah dapat kita temukan alat yang dapat melakukan semua fungsi tadi dalam satu alat. Ya, semuanya dalam satu alat yang sama dan dapat dibeli dengan harga yang relatif murah. Selain alat yang mampu melakukan multitask tersebut, konvergensi pertama ini juga termasuk mesin (alat, device, software, atau hardware) yang dapat mempermudah hidup pekerjaan manusia. Misalnya, software yang memungkinkan kita untuk memesan tiket pesawat tanpa perlu datang dan mengantri lama di loket maskapai serta membayar dengan uang tunai. Kini, sudah ada layanan yang memungkinkan kita untuk memesan tiket secara on-line, dimanapun dan kapanpun dengan sistem pembayaran lewat kartu kredit.
Konvergensi yang kedua ialah terbentuknya kelompok-kelompok baru. Anggota kelompok tersebut bisa jadi tidak berasal dari negara yang sama, bahkan bisa jadi mereka tidak pernah saling bertatap muka. Hubungan dalam kelompok ini bisa bertujuan apa saja: bisnis, pertemanan, hingga kesamaan hobi. Misalnya, kelompok orang yang tergabung dalam mailing list Jalansutra. Tidak semua anggotanya pernah bertemu secara nyata, namun mereka rutin berkomunikasi dalam dunia maya. Anggota-anggotanya pun beragam dan tersebar di seluruh dunia.
Meskipun dikatakan bahwa dunia kini ialah ’dunia yang datar’, namun tak berarti kemajuan teknologi telah membawa dampak positif bagi seluruh penduduk dunia. Masih ada beberapa bagian dunia yang belum terjangkau kemajuan teknologi ini serta mengecap nikmatnya teknologi. Namun, dengan hadirnya penemuan-penemuan di bidang teknologi, setidaknya membawa sebagian penduduk dunia ke arah yang lebih baik: membuat mereka lebih mengenal dunia luar.