Selasa, 18 Maret 2008

Bajak-Membajak

The Quintessential American Pirate

Samuel Langhorne Clemens, yang memiliki nama populer Mark Twain, dikenal dengan buku karangannya yang berjudul The Adventures of Tom Sawyer. Sebagai seorang penulis, Twain melihat betapa pentingnya peran negara dalam memberikan hak cipta sebagai wujud perlindungan bagi kekayaan intelektual yang dimiliki warga negaranya. Twain merupakan seorang penulis yang banyak memperjuangkan hak cipta dan hak kekayaan intelektual, khususnya untuk karya tulis. Tindakannya saat itu dinilai cukup berani, menimbulkan kontroversi dengan berbagai pihak.

Memulai karier awal sebagai seorang penulis novel di tahun 1870-an, Twain telah merasa puas dengan bukunya yang cukup laris di pasaran. Sayang, seiring dengan berjalannya waktu, ia berhadapan dengan masalah pembajakan. Hal itu diketahuinya ketika ia melakukan tur untuk mempromosikan bukunya. Ia dikenali banyak orang, namun tidak ada tidak ada yang membeli bukunya. Ketika ia sudah semakin dikenal dan dihargai karena karyanya yang bermutu, ia mulai menyuarakan tentang hak cipta. Pada tahun 1875, majalah Atlantic Monthly menerbitkan tulisannya mengenai hak cipta dan menggandeng penulis-penulis lain yang sepaham dengannya. Di akhir tahun ’1870-an, industri penerbitan kolaps yang berakibat pada jatuhnya harga buku. Pada tahun 1880, Twain menulis surat pada editor majalah Atlantic Monthly, William Dean Howells. Dalam suratnya, Twain mengungkapkan kecewaannya yang mendalam pada buku bajakan dan karya yang disebut Twain sebagai karya picisan yang dijual dengan harga murah. Di akhir surat, Twain menyatakan dirinya menolak segala bentuk perjanjian hak cipta internasional. Menurutnya, perjanjian semacam itu hanya akan menguntungkan industri penerbitan, sebagian pengarang, dan merugikan 20 juta rakyat Amerika. Nyatanya, rakyat Amerika pada saat itu menikmati kehadiran karangan picisan tersebut. Akhirnya, Mark Twain bangkit dan menerima tantangan untuk bersaing dengan karya-karya genre itu pada tahun 1886. Keteguhan hatinya mendapat jawaban ketika di tahun 1891 hak cipta internasional efektif diberlakukan.

Selain permasalahan dengan lembaga pembuat hak cipta internasional, Mark Twain juga pernah bersengketa dengan Mary Ann Cord, pekerja di rumahnya, terkait dengan kepemilikan hak cipta atas karyanya yang berjudul The Adventures of Huckleberry Firm. Karya yang diterbitkan majalah Atlantic Monthly ditulis oleh Twain, namun menurut Cord itu adalah idenya. Sejak peristiwa itu, hak cipta selalu menjadi pertimbangan untuk menjaga ekspresi dari ide, bukan ide itu sendiri.

The Idea of Copyrighting Ideas

Berdasarkan pengalaman Twain dan Cord, ada dua pertanyaan besar yang berkaitan dengan hak cipta. Pertama, bukankah semua karya sifatnya derivatif? Artinya, pengarang A mendapat ide dari pengarang sebelumnya, dan seterusnya, seperti Monet yang ’belajar’ dari Cezanne. Kedua, apakah boleh meniru sebuah karya secara utuh? Lantas, bagaimana jika karya tersebut berupa tulisan?

Hukum mengenai hak cipta yang berlaku setidaknya sejak 1710 hingga 1870 telah merumuskan ada perbedaan yang fundamental mengenai ’ide’ dan ’ekspresi’. Kita dapat melindungi ekspresi ide kita, namun tidak diijinkan untuk memonopoli ide itu sendiri. Misalnya, pada karya berwujud gambar yang dibuat sebagai bentuk terjemahan sebuah dokumen. Karya gambar itu memiliki hak cipta tersendiri, karena ia merupakan karya yang berbeda dengan karya dokumen yang telah dibuat sebelumnya; karena bentuk ekspresi ide-nya telah berubah. Menurut Thomas Jefferson, ide adalah kekuatan berpikir yang dapat dimiliki secara eksklusif oleh seseorang (penciptanya) selama ia menyimpan itu sendiri, namun statusnya dapat berubah menjadi milik orang lain ketika ia menyebarkannya pada orang lain. Lebih lanjut Jefferson menyatakan bahwa terminologi ’property’ dipakai untuk menjelaskan ’hasil intelektual’ yang jika dibagikan tidak akan menghilangkannya dari sang pemilik. Ia mengibaratkan dengan cahaya dari lilin yang diberi ke lilin lain, tanpa mematikan cahaya dari lilin pertama. Donaldson v. Beckett menyatakan bahwa penulis kehilangan hak mengekspresikan idenya ketika naskah mereka dipublikasikan. Begitu pula dengan penulis di abad ini yang menyerahkan kekayaan intelektualnya pada penerbit yang pada mereka pula lah penulis menyerahkan hak reproduksi dan publikasi.

Tidak ada komentar: