Selasa, 08 April 2008

Is it okay to use copyrighted material you haven’t paid for? Wich creature on which shoulder decides if it’s okay or not?

Is it okay to download? Is it okay to use copyrighted material you haven’t paid for? Wich creature on which shoulder decides if it’s okay or not?




60 juta orang yang mengunduh berbagai file dari KaZaA tetap meyakini bahwa tindakan mereka dapat dibenarkan. Apakah pemikiran mereka salah? Ataukah malah pendapat mereka memang dapat dibenarkan? Lantas, bagaimana menilai tindakan mereka? Apa saja yang menjadi standar pengukurannya? Ada daerah-daerah dan budaya-budaya tertentu yang memandang pelanggaran hak cipta bukanlah pelanggaran etika. Bagaimanapun juga, dalam tiap kelompok ada nilai-nilai tertentu yang dipegang anggota kelompok tersebut dalam memandang permasalahan ini dilihat dari sudut etis.

Isu mengenai pembajakan memang sudah bergaung di berbagai belahan dunia sejak beberapa tahun yang lalu. Pekerja seni, produser, programmer, hingga pebisnis menyatakan ketidaksetujuan mereka akan pembajakan. Kita mungkin bisa menemukan hitung-hitungan matematis untuk menemukan berapa besar kerugian yang dialami negara, pemilik hak cipta, serta organisasi terkait dari pembajakan yang terjadi atas karya-karya yang dilindungi hak cipta. Pertanyaannya, mengapa hal tersebut tetap berjalan?

Berbagai opini dilontarkan untuk menjawab pertanyaan etika ini. Ada yang mengatakan pengunduhan dari Internet adalah hal yang legal, dengan alas an saling berbagi adalah hal yang indah. Ada pula yang setuju dengan pengunduhan menyatakan bahwa hal tersebut merupakan salah satu jalan bagi musisi untuk memperkenalkan mereka pada masyarakat. Yang lainnya mengatakan mengunduh video atau musik dari Internet adalah tindakan melanggar hukum. Bagi mereka, tindakan tersebut melanggar hak cipta.

Menurut penelitian yang dilakukan asisten professor dari Yale University, Stanley Milgram, menghasilkan temuan yang kontroversial. Menurut Milgram, pola pikir “pengunduhan adalah legal karena setiap orang melakukannya” menjadi satu alasan yang dapat menjelaskan mengapa pengunduhan karya berhak cipta masih terus berjalan hingga kini.

Ada empat standar etika yang berkaitan dengan isu ini.

1. John Locke. Ia menyatakan bahwa hak kepemilikan dapat meningkat berdasarkan usaha. Semakin besar usaha seseorang, maka ia semakin ‘berhak’ mendapatkan hak kepemilikan.

2. Kant. Teori ini percaya bahwa kriteria untuk menentukkan apakah seseorang sudah berlaku sesuai dengan etika ialah ketika ia berlaku sesuai dengan aturan dan prinsip yang formal. Immanuel Kant merumuskan ‘categorical imperative’, yaitu standar keetisan atas tindakan seseorang diukur berdasarkan apakah semua orang juga melakukan hal yang sama ketika berada di posisi tersbeut; artinya, jika tindakannya sama seperti semua orang, maka tindakannya bisa dikategorikan sebagai tindakan etis.

3. Bentham/ Mill. Menurut pandangan Bentham dan J.S. Mill yang berpandangan utilitarianisme, keetisan tindakan seseorang ditentukan berdasarkan fakta bahwa keputusan tersebut akan membawa kebahagiaan dan hal-hal yang baik bagi sebagian besar orang. Artinya, kebahagiaan menjadi prinsip yang berperan dalam menentukkan tindakan seseorang.

4. Plato. Menurut pandangan Plato yang menganut virtue ethics, keetisan tindakan seseorang dapat dibangun dari kebiasaan hidup sehari-hari.

Pada akhirnya, yang dapat mendefinisikan keetisan suatu tindakan hanyalah tiap individu masing-masing. Standar keetisan seseorang boleh jadi berbeda dengan standar keetisan orang lainnya. Tiap individu patut bertanya pada diri mereka sendiri dengan jujur dalam menilai apakah tindakannya sesuai moral dan etika. Meskipun, menurut sebuah penelitian, hampir setiap orang yang mengunduh karya berhak cipta menyadari bahwa tindakannya salah. Bagi pihak penerbit, permasalahan seperti ini menjadi tantangan tersendiri bagi mereka.

Tidak ada komentar: