Kehadiran Internet memang fenomenal. Selain dapat mengubah gaya hidup banyak orang, Internet juga menghadirkan kejutan tersendiri bagi hukum dalam dunia nyata. Artinya, hukum yang selama ini telah dibentuk dalam dunia nyata tidak dapat diberlakukan bagi masyarakat yang telah tersentuh Internet. Akibatnya, pemerintah selaku pembentuk kebijakan perlu bersikap. Apakah mereka bisa langsung men-judge dan memutuskan suatu tindakan sebagai tindakan melanggar hukum? Ataukah sebaiknya pemerintah perlu menunggu sambil mengamati perkembangan, baru bisa memutuskan tindakan-tindakan mana saja yang dapat dibenarkan dan tidak dapat dibenarkan? Untuk kasus pornografi di Internet, pemerintah sebaiknya menunggu dulu sambil melihat bagaimana jaringan-jaringan pornografi di Internet berkembang. Hal ini penting untuk mencegah agar pemerintah tidak mengganggu perkembangan Internet.
Bagi industri media, seperti perusahaan label rekaman ataupun pemroduksi film, mereka membutuhkan pengakuan akan karya-karya baru yang muncul belakangan. Inovasi tersebut membutuhkan pengakuan berupa hak veto yang diwujudkan dalam hukum dan peradilan. Sebaliknya, hukum dan peradilan yang berlaku di Amerika (sebagai manifestasi pemerintah) lebih memilih untuk melindungi karya-karya lama terhadap ‘invasi’ inovasi-inovasi baru. Misalnya, untuk menggunakan suatu karya, kita perlu meminta dan mendapat ijin dari penciptanya. Hal itu mungkin tidak jadi masalah jika diterapkan di era dimana perusahaan-perusahaan besar yang menguasai pasar. Namun, hal ini menjadi masalah ketika diterapkan pada amsa dimana perusahaan-perusahaan kecil banyak berkembang dan menguasai pasar.
Pengontrolan-pengontrolan yang dilakukan pemerintah seperti perijinan yang diperlukan untuk menyadur karya yang dilindungi hak cipta, misalnya, menjadi hambatan tersendiri bagi berkembangnya inovasi yang akan dilakukan generasi selanjutnya. Alice Randall dan Eric Eldred menggambarkan kondisi semacam itu dengan pernyataan ‘they block the potential for innovation, by adding protection for existing interests’. Sedangkan Siva Vaidhyanatahn berpendapat bukan tentang kiri atau kanan dalam debat mengenai hak cipta. Disini hanya ada perdebatan tentang siapa yang setuju dengan perlindungan ‘tebal’ atau ‘tipis’. Permasalahan sesungguhnya dalam ranah ini ialah adanya perbedaan pendapat antara (proteksi) terhadap karya lawas atau inovasi baru.
Penciptaan hak paten dianggap dapat menjadi solusi bagi permasalahan proteksi karya berhak cipta ini. Pendaftaran inovasi dengan hak paten tidak berarti innovator perlu membuka cara-cara bagaimana menciptakan karya semacam itu. Maka, dengan cara seperti ini, sumber dapat tetap dirahasiakan. Namun, pematenan inovasi ini tidak didapat dengan gratis, ada biaya yang perlu dibayar. Biaya (cost) yang dibayarkan untuk mematenkan inovasi sudah termasuk biaya perlindungan atas karya. Meskipun begitu, dalam pengimplementasiannya, penawaran perlindungan hanya sekedar menjadi wacana belaka. Biaya sesungguhnya yang perlu ‘dibayar’ ialah keberanian untuk metenkan sebuah karya. Dalam hukum Amerika, jika biro hak paten salah dalam mematenkan karyayangs eharusnya tidak layak dipatenkan, maka tiap pihak diwajibkan membayar denda USS 1.5 juta.
Pada akhirnya, pengontrolan yang ketat akan menimbulkan keenganan perusahaan untuk mengaplikasikannya dalam perushaan tersebut. Karena, ketika kontrol berada dalam keadaan yang kompleks, otomatis akan melibatkan banyak sumber daya yang pada akhirnya tentu menambah pengeluaran perusahaan. Selain itu, meningkatnya harga produksi tentu akan berdampak pada meningkatnya harga jual; lantas, ketika keadaan pasar sudah semakin ‘dingin’, bukankah itu sudah terlambat?
Nampaknya kita, sebagai anggota lingkungan yang hidup di era teknologi, perlu memeriksa kembali cakupan batasan-batasan monopoli yang telah diciptakan sebelumnya, sudahkan sesuai dengan konteks yang berlaku? Pada akhirnya kita perlu mempertanyakan, masih perlukah kontrol diberlakukan? Atau setidaknya, sejauh manakah kontrol itu perlu dijalankan? Selain itu, kita juga perlu memikirkan bagaimana jika inovasi yang ada saat ini melindungi diri dengan hukum terhadpa inovasi yang mungkin akan ‘mencelakai’ diri mereka. Komitmen untuk menerima inovasi, dapat dipastikan, mampu membuat kalangan ‘tua’ (innovator karya sebelumnya) serta karyanya menjadi ‘punah’. Hukum pun harus bersiap untuk dijadikan alat melawan yang ‘muda’ (inovasi baru). Namun, pada akhirnya hanya kelompok mainstream-lah yang dapat menentukan inovasi mana saja yang boleh masuk dan tidak boleh.
Selasa, 22 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar