Selasa, 22 April 2008
Controlling the 'Old' n 'New'
Bagi industri media, seperti perusahaan label rekaman ataupun pemroduksi film, mereka membutuhkan pengakuan akan karya-karya baru yang muncul belakangan. Inovasi tersebut membutuhkan pengakuan berupa hak veto yang diwujudkan dalam hukum dan peradilan. Sebaliknya, hukum dan peradilan yang berlaku di Amerika (sebagai manifestasi pemerintah) lebih memilih untuk melindungi karya-karya lama terhadap ‘invasi’ inovasi-inovasi baru. Misalnya, untuk menggunakan suatu karya, kita perlu meminta dan mendapat ijin dari penciptanya. Hal itu mungkin tidak jadi masalah jika diterapkan di era dimana perusahaan-perusahaan besar yang menguasai pasar. Namun, hal ini menjadi masalah ketika diterapkan pada amsa dimana perusahaan-perusahaan kecil banyak berkembang dan menguasai pasar.
Pengontrolan-pengontrolan yang dilakukan pemerintah seperti perijinan yang diperlukan untuk menyadur karya yang dilindungi hak cipta, misalnya, menjadi hambatan tersendiri bagi berkembangnya inovasi yang akan dilakukan generasi selanjutnya. Alice Randall dan Eric Eldred menggambarkan kondisi semacam itu dengan pernyataan ‘they block the potential for innovation, by adding protection for existing interests’. Sedangkan Siva Vaidhyanatahn berpendapat bukan tentang kiri atau kanan dalam debat mengenai hak cipta. Disini hanya ada perdebatan tentang siapa yang setuju dengan perlindungan ‘tebal’ atau ‘tipis’. Permasalahan sesungguhnya dalam ranah ini ialah adanya perbedaan pendapat antara (proteksi) terhadap karya lawas atau inovasi baru.
Penciptaan hak paten dianggap dapat menjadi solusi bagi permasalahan proteksi karya berhak cipta ini. Pendaftaran inovasi dengan hak paten tidak berarti innovator perlu membuka cara-cara bagaimana menciptakan karya semacam itu. Maka, dengan cara seperti ini, sumber dapat tetap dirahasiakan. Namun, pematenan inovasi ini tidak didapat dengan gratis, ada biaya yang perlu dibayar. Biaya (cost) yang dibayarkan untuk mematenkan inovasi sudah termasuk biaya perlindungan atas karya. Meskipun begitu, dalam pengimplementasiannya, penawaran perlindungan hanya sekedar menjadi wacana belaka. Biaya sesungguhnya yang perlu ‘dibayar’ ialah keberanian untuk metenkan sebuah karya. Dalam hukum Amerika, jika biro hak paten salah dalam mematenkan karyayangs eharusnya tidak layak dipatenkan, maka tiap pihak diwajibkan membayar denda USS 1.5 juta.
Pada akhirnya, pengontrolan yang ketat akan menimbulkan keenganan perusahaan untuk mengaplikasikannya dalam perushaan tersebut. Karena, ketika kontrol berada dalam keadaan yang kompleks, otomatis akan melibatkan banyak sumber daya yang pada akhirnya tentu menambah pengeluaran perusahaan. Selain itu, meningkatnya harga produksi tentu akan berdampak pada meningkatnya harga jual; lantas, ketika keadaan pasar sudah semakin ‘dingin’, bukankah itu sudah terlambat?
Nampaknya kita, sebagai anggota lingkungan yang hidup di era teknologi, perlu memeriksa kembali cakupan batasan-batasan monopoli yang telah diciptakan sebelumnya, sudahkan sesuai dengan konteks yang berlaku? Pada akhirnya kita perlu mempertanyakan, masih perlukah kontrol diberlakukan? Atau setidaknya, sejauh manakah kontrol itu perlu dijalankan? Selain itu, kita juga perlu memikirkan bagaimana jika inovasi yang ada saat ini melindungi diri dengan hukum terhadpa inovasi yang mungkin akan ‘mencelakai’ diri mereka. Komitmen untuk menerima inovasi, dapat dipastikan, mampu membuat kalangan ‘tua’ (innovator karya sebelumnya) serta karyanya menjadi ‘punah’. Hukum pun harus bersiap untuk dijadikan alat melawan yang ‘muda’ (inovasi baru). Namun, pada akhirnya hanya kelompok mainstream-lah yang dapat menentukan inovasi mana saja yang boleh masuk dan tidak boleh.
Selasa, 15 April 2008
Kontroversi Aplikasi Spektrum
Spektrum adalah frekuensi radio dari gelombang elektromagnet. Spektrum biasa digunakan untuk mengirimkan gelombang pada ponsel serta siaran televisi dengan jangkauan 300 kHz hingga 300GHz. Pada awal mula kehadirannya, radio tidak diciptakan untuk dikomersialisasikan, namun sebagai media non-komersil. Kalaupun ada, jumlah radio komersial tidak seberapa. Perubahan tersebut nampak nyata dalam periode 1927-1934, dimana konsumsi radio bergeser dari yang variatif (radio pendidikan dan radio religi, misalnya) menjadi didominasi oleh radio siaran komersial. Hadirnya radio komersil ini sebagai dampak dari penyiaran yang mendapat campur tangan pengaturan pemerintah.
Pengaturan siaran stasiun radio oleh pemerintah mendapat tentangan dari kalangan ekonom. Menurut mereka, frekuensi bukanlah benda langka. Sedangkan kelangkaan menandakan sumber daya yang berharga dan sumber daya berharga tidak selalu dikuasai pemerintah. Seorang pemenang nobel tahun 1991 di bidang ekonomi, Ronald Coase, menyatakan bahwa spektrum lebih baik dialokasikan sebagai kekayaan intelektual dan ditawarkan dengan harga setinggi mungkin. Menurut Coase, pasar spektrum akan lebih efisien daripada sistem lisensi yang diberlakukan pemerintah selama ini. Namun, kedua pihak yang berdebat ini sama-sama menyetujui bahwa gelombang radio bukanlah ‘benda yang umum’, sehingga perlu diatur kegunaannya.
Pertanyaannya, masihkan pengaturan spektrum diperlukan? Menurut Leissig, tidak. Bagi ia, spektrum ialah sumber daya publik, sehingga berhak diakses tiap orang. Leissig menawarkan ‘jalan lain’, sebagai alasan untuk tidak mengalokasikan spektrum, yaitu dengan teknologi wideband. Teknologi ini memungkinkan user untuk saling berbagi gelombang dengan bebas, tanpa campur tangan pemerintah maupun pasar. Penggunaan teknologi wideband memang dilengkapi dengan aturan-aturan yang harus dipenuhi, namun ia tidak mengatur siapa saja yang dapat atau tidak dapat memakainya.
Bentuk nyata dari teknologi wideband ialah Ethernet, yang memungkinkan komputer kita untuk terhubung dengan local area network (LAN). Ethernet ialah cara untuk menghubungkan berbagai device dalam suatu jaringan untuk berbagi isi dari jaringan tersebut. Untuk menggunakan LAN, tidak diperlukan lisensi yang mengatur siapa saja yang dapat mengaksesnya.
Kualitas penyiaran dengan basis spektrum radio tidak terlalu bagus, karena ia hanya bisa membedakan antara sinyal keras dan keheningan, tanpa bisa membedakan fokusnya. Berbeda dengan penyiaran dengan teknologi wideband. Ada beberapa keunggulan teknologi wideband dalam penyiaran. Pertama, ia bisa menentukan mana yang menjadi fokus dalam suatu gelombang, sehingga jika kualitas siaran terganggu oleh noise, ia bisa memilah gelombang yang sesungguhnya ingin dipacarkan dan tidak menonjolkan noise. Kedua, sistem ini memungkinkan untuk terhubung dengan berbagai receiver. Artinya, ia bisa mengkoordinasi beberapa broadcaster dalam spektrum radio yang sama.
Pada intinya, menurut Leissig penggunaan spektrum seharusnya sama seperti penggunaan Internet. Siapapun yang memiliki protocol, maka dapat mengaksesnya. Meskipun ide Leissig mengenai spektrum ialah spektrum sebagai sumber daya publik, namun tak berarti ia menyatakan pemerintah tidak perlu mengatur penggaplikasiannya. Pemerintah maupun pasar tidak dapat memutuskan siapa saja yang boleh menggunakan spektrum. Pemerintah hanya berperan dengan menjamin teknologi yang digunakan spektrum memang teknologi yang sudah layak mendapat sertifikasi. Pemberlakuan sistem semacam ini tidak membutuhkan campur tangan pemerintah yang terlalu banyak.
Ekonom George Gilder menolak ide pemerintah untuk menjual spektrum radio dengan alasan metode tersebut rentan terlibat dengan praktik korupsi. Sebaliknya, Gilder mengusulkan liberalisasi bagi sumber daya spektrum agar dapat berkembang dengan inovatif. Peran pemerintah hanya sebagai pelindung karya sebelumnya terhadap karya yang baru muncul belakangan. Namun, inovasi berkembang dengan lama. Hal itu dikarenakan sulitnya mendapatkan perijinan. Solusinya dengan meniadakan lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan perijinan.
Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa pendistribusian pasar memang penting, untuk mencegah penggunaan yang berlebihan serta memacu peningkatan efisiensi spektrum (inovasi). Terlepas dari kontroversi sistem mana yang sesuai untuk diterapkan, semua pihak memiliki ide yang sama: mengurangi kekuatan pemegang kuasa, meminimalisir peran pemerintah dengan menetapkan perannya hanya sebagai pelindung karya sebelumnya terhadap karya yang baru muncul belakangan, perubahan radikal dalam pembuatan kebijakan dengan membebaskan innovator dari birokrasi perijinan.
Keseimbangan: antara Kontrol dan Kebebasan
Masyarakat diuntungkan dengan hadirnya sumber daya yang diperoleh secara bebas. Namun kita harus menyeimbangkan antara pemakaian bebas dengan dibawah kontrol. Namun, hal ini tidak berjalan dengan sendirinya, karena tidak ada yang bisa menentukkan apakah kontrol terlalu sedikit atau malah terlalu banyak. Disinilah peran masyarakat, menjaga agar peran keduanya tetap seimbang. Permasalahannya, aturan semacam apa yang dianggap terbaik untuk menjaga agar sumber daya tetap mencukupi? Masyarakat harus yakin bahwa norma yang berlaku di lingkungannya dapat berperan untuk menjaga agar sumber daya tetap mencukupi. Jika norma saja tidak cukup, masyarakat harus menemukan teknologi baru yang mampu mengontrol. ‘Teknologi baru’ ini dapat berupa apa saja: regulasi yang mengatur banyaknya sumber daya yang boleh diambil, penciptaan hak kekayaan intelektual.
Penggambaran keseimbangan harus dikaitkan dengan teknologi yang ada. Karena, perubahan teknologi dapat membuat perubahan keseimbangan. Misalnya, perubahan penggunaan Internet berdampak pada perubahan keseimbangan antara kontrol dan kebebasan dalam dunia maya. Saat ini, pergeseran keseimbangan menunjukkan hasil bahwa kontrol meningkat, sehingga ia lebih dominan. Jika ada yang menyatakan bahwa pengontrolan meningkat, kemungkinan ia salah. Ia salah karena ia tidak menyadari bahwa dirinya sedang berada di bawah kontrol, karena ia tidak merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Nyatanya, perubahan yang terjadi tidak terpikir oleh ide keseimbangan yang telah tertanam di benak ia sebelumnya.
Selasa, 08 April 2008
Is it okay to use copyrighted material you haven’t paid for? Wich creature on which shoulder decides if it’s okay or not?
Is it okay to download? Is it okay to use copyrighted material you haven’t paid for? Wich creature on which shoulder decides if it’s okay or not?
60 juta orang yang mengunduh berbagai file dari KaZaA tetap meyakini bahwa tindakan mereka dapat dibenarkan. Apakah pemikiran mereka salah? Ataukah malah pendapat mereka memang dapat dibenarkan? Lantas, bagaimana menilai tindakan mereka? Apa saja yang menjadi standar pengukurannya? Ada daerah-daerah dan budaya-budaya tertentu yang memandang pelanggaran hak cipta bukanlah pelanggaran etika. Bagaimanapun juga, dalam tiap kelompok ada nilai-nilai tertentu yang dipegang anggota kelompok tersebut dalam memandang permasalahan ini dilihat dari sudut etis.
Isu mengenai pembajakan memang sudah bergaung di berbagai belahan dunia sejak beberapa tahun yang lalu. Pekerja seni, produser, programmer, hingga pebisnis menyatakan ketidaksetujuan mereka akan pembajakan. Kita mungkin bisa menemukan hitung-hitungan matematis untuk menemukan berapa besar kerugian yang dialami negara, pemilik hak cipta, serta organisasi terkait dari pembajakan yang terjadi atas karya-karya yang dilindungi hak cipta. Pertanyaannya, mengapa hal tersebut tetap berjalan?
Berbagai opini dilontarkan untuk menjawab pertanyaan etika ini. Ada yang mengatakan pengunduhan dari Internet adalah hal yang legal, dengan alas an saling berbagi adalah hal yang indah. Ada pula yang setuju dengan pengunduhan menyatakan bahwa hal tersebut merupakan salah satu jalan bagi musisi untuk memperkenalkan mereka pada masyarakat. Yang lainnya mengatakan mengunduh video atau musik dari Internet adalah tindakan melanggar hukum. Bagi mereka, tindakan tersebut melanggar hak cipta.
Menurut penelitian yang dilakukan asisten professor dari Yale University, Stanley Milgram, menghasilkan temuan yang kontroversial. Menurut Milgram, pola pikir “pengunduhan adalah legal karena setiap orang melakukannya” menjadi satu alasan yang dapat menjelaskan mengapa pengunduhan karya berhak cipta masih terus berjalan hingga kini.
Ada empat standar etika yang berkaitan dengan isu ini.
1. John Locke. Ia menyatakan bahwa hak kepemilikan dapat meningkat berdasarkan usaha. Semakin besar usaha seseorang, maka ia semakin ‘berhak’ mendapatkan hak kepemilikan.
2. Kant. Teori ini percaya bahwa kriteria untuk menentukkan apakah seseorang sudah berlaku sesuai dengan etika ialah ketika ia berlaku sesuai dengan aturan dan prinsip yang formal. Immanuel Kant merumuskan ‘categorical imperative’, yaitu standar keetisan atas tindakan seseorang diukur berdasarkan apakah semua orang juga melakukan hal yang sama ketika berada di posisi tersbeut; artinya, jika tindakannya sama seperti semua orang, maka tindakannya bisa dikategorikan sebagai tindakan etis.
3. Bentham/ Mill. Menurut pandangan Bentham dan J.S. Mill yang berpandangan utilitarianisme, keetisan tindakan seseorang ditentukan berdasarkan fakta bahwa keputusan tersebut akan membawa kebahagiaan dan hal-hal yang baik bagi sebagian besar orang. Artinya, kebahagiaan menjadi prinsip yang berperan dalam menentukkan tindakan seseorang.
4. Plato. Menurut pandangan Plato yang menganut virtue ethics, keetisan tindakan seseorang dapat dibangun dari kebiasaan hidup sehari-hari.
Pada akhirnya, yang dapat mendefinisikan keetisan suatu tindakan hanyalah tiap individu masing-masing. Standar keetisan seseorang boleh jadi berbeda dengan standar keetisan orang lainnya. Tiap individu patut bertanya pada diri mereka sendiri dengan jujur dalam menilai apakah tindakannya sesuai moral dan etika. Meskipun, menurut sebuah penelitian, hampir setiap orang yang mengunduh karya berhak cipta menyadari bahwa tindakannya salah. Bagi pihak penerbit, permasalahan seperti ini menjadi tantangan tersendiri bagi mereka.